Makassar PW: Manase Fahmi, Kepala Kampung Adat Malasigi, yang juga Kepala Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Malasigi Klayili Sorong Papua Barat Daya bersama Sofiana selaku pendamping wisata di Kampung Leme-Leme Darat, Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah, menjadi narasumber dalam sesi diskusi dengan wartawan atau media pers.
Diskusi ini berlangsung di Hotel Claro Makassar, Jl A P Pettarani Mannruki Tamalate, Kota Makassar Sulawesi Selatan (23 Juni 2025), dalam kegiatan “Media Gathering Regional Indonesia Timur Subholding Upstream Pertamina tahun 2025, dengan tema “Acceleration Energy For Business Sustainability (Akselerasi Energi untuk Keberlanjutan Bisnis)”.
Manase menjelaskan jika Kampung Adat Malasigi awalnya didirikan oleh 4 marga yaitu marga Fahmi, Su, Kilala dan Kwaktolo. Di Kampung Malasigi terdapat burung endemik yaitu burung cenderawasih. Uniknya di Kampung Malasigi ada 5 jenis burung cenderawasih. Selain burung cenderawasih, Kampung Malasigi memiliki hutan yang sangat luas, dan bagi masyarakat, hutan adalah mama. Jadi masyarakat sebagai anak, harus merawat mamanya (hutan), sehingga timbullah Mata Hati Malasigi.
“Dengan sumber daya alam (hutan) yang luas, ada perusahaan kelapa sawit yang ingin masuk disana, tapi masyarakat menolak dan berkomitmen untuk menjaga hutan. Karena perusahaan ini, akan merusak hutan dan mengancam kelestarian alam juga kehidupan masyarakat kedepan. Wisatawan asing sudah banyak ke Kampung Malasigi. Namun saat ini perjalanan ke Kampung Malasigi rusak”, jelasnya.
J
adi dikatakan Manase, jika dari Bandara DEO Kota Sorong ke Kampung Malasigi, harus menggunakan kendaraan sejenis L200 atau double gardan dan bisa memakan biaya sampai 2,3 jt, dengan jarak tempuhnya sekitar 2 jam. Hal ini berbanding dari beberapa waktu lalu, jalan yang masih bagus, sehingga bisa ditempuh 1 jam dengan biaya sekitar 1,6 jt. Masyarakat Moi (Kampung Malasigi), awalnya hanya hidup di hutan, berburu, bertani dan totok sagu.
“Namun sekarang setelah menjadi kampung wisata, masyarakat Kampung Malasigi bisa menyekolahkan anak-anak, dan uang sekolah mereka dibayarkan melalui kegiatan wisata yang ada di Kampung Malasigi. Di Malasigi ada sumber air panas yang tidak bisa dimasuki sembarangan oleh orang lain, karena masih disakralkan oleh masyarakat. Begitu juga dengan beberapa akses ke tempat wisata lainnya”, ujar Manase.
Diuraikan Manase bahwa sebelum berangkat ke tempat wisata, para wisatawan sudah disampaikan akan pantangan atau kesakralan dari beberapa tempat wisata tersebut. Pantangannya ada yang tidak boleh bawa makanan dingin, tidak boleh bawa garam dan fetsin, juga wanita yang sedang menstruasi tidak bisa injak di sumber air panas. Bahkan untuk memasuki sumber wir panas, harus mengikuti prosesi adat terlebih dahulu. Ada juga berburu atau memancing ikan gurami, yang ada batasannya atau sasi.
Ada beberapa penghargaan yang diterima Kampung Wisata Adat Malasigi, diantaranya bersama Pertamina EP Papua meraih penghargaan juara 1 lomba lokal hero inspiration awards yang diselenggarakan Dirjen PPKL KLHK dalam festival pengendalian lingkungan 2024 dengan cerita perjalanan program kehutanan sosial. Kemudian juara 1 desa wisata rintisan dalam ADWI 2024.
Seperti halnya Kampung wisata adat Malasigi, ada juga kampung wisata Leme-leme barat Bangga Kepulauan. Dimana ada program Kokolomboi Lestari. Kokolomboi Lestari ini, merupakan program konservasi hutan yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat adat dan pelestarian lingkungan. Dimana program Kokolomboi Lestari ini dikelola oleh Pertamina EP Donggi Matindok Field.
Menurut Sofiana (pendamping wisata), mewakili Yermin Yanggolo (Ketua Adat Togong – Tanga) dan Uun Maddus (peneliti lokal), ada banyak masalah yang dihadapi masyarakat yang ada di Banggai Kepulauan, seperti masalah sosial 15% masyarakat miskin, 70% pendidikan rendah (SD dan SMP), keterbatasan akses insfratruktur-pendidikan-kesehatan, ketiadaan listrik dan teknologi serta akses informasi yang terbatas.
Sehingga pemenuhan kebutuhan adalah melalui pemanfaatan sumber daya hutan, pertanian ladang yang berpindah, ilegal logging, perambahan hutan dan perburuan satwa endemik. Oleh sebab itu dilakukan pengembangan desa konservasi berbasis masyarakat adat melalui program Kokolomboi Lestari. Dari program Kokolomboi Lestari ini, muncul program simpul emas yaitu bio-ferdoman dengan program hutan adat, eco-paving dengan program wisata dan apikultur.
Dari program ini timbul prestasi luar biasa yaitu pusat pembelajaran masyarakat, dengan 3 pencapaian yakni pengembangan komoditas madu, penelitian bagi peneliti nasional maupun internasional serta atraksi seni dan budaya. Dan perluasan manfaatnya mencakup 11 desa (binaan proklim) dan 6 pengembangan kawasan (konservasi berbasis masyarakat.
Pelaksanaan program Kokolomboi Lestari ini bekerjasama dengan berbagai stakeholder, baik pemerintah, swasta, lembaga adat juga masyarakat umum. Kokolomboi Lestari telah menerima penghargaan internasional yaitu best practice award global corporate Sustainability award 2023 dan 2024, serta CSR dan ESG awards 2025.
Sedangkan penghargaan secara nasional adalah 2 kali gold proper, 3 kali green proper, proklim lestari 2023, silver category ISRA awards 2023, gold category CSR dan PDB awards 2024, gold category ISDA awards 2022, serta publikasi jurnal CSR – pendidikan dan pemberdayaan masyarakat.
*Jacob Sumampouw